Rabu, 09 Agustus 2017

Tere Liye : Pulang

Bab 5. Amok

Basyir pulang pukul delapan malam, dengan lengan dibebat. 
“Kami akhirnya berhasil menguasai Pasar Induk…. Kopong sedang menyelesaikan sisanya, menyumpal mulut petugas dan wartawan agar kejadian tidak tersebar kemana-mana. Kopong ahli sekali soal itu, dan orang-orang hanya melihatnya seperti kebakaran dan rusuh biasa” Basyir bercerita antusias, dia tidak peduli meski pakaian dan rambutnya kotor serta acak-acakan, “Apa yang kau lakukan hari ini, Bujang? Apa tugasmu dari Tauke?”
Aku menggeleng, tidak tertarik membahasnya. 
“Ini apa?” Basyir menunjuk heran buku-buku tebal di atas tempat tidurku.
Aku tidak menjawab. 
“Sejak kapan ada orang di rumah ini yang membaca buku?”
Aku menelan ludah.
Basyir tertawa, akhirnya dia bisa menebak apa yang terjadi, “Kami seharian melakukan hal seru di luar sana, Bujang. Memukuli preman pasar yang banyak tingkah, kau justeru disuruh membaca.”
Sial, aku melotot kepada Basyir yang mentertawakanku.
“Aku mandi, Bujang. Belajar yang rajin kau.” Basyir melambaikan tangannya, kembali ke kamarnya.
Aku menghembuskan nafas kesal.
Tere Liye : Pulang

Waktu itu aku belum paham apa yang sebenarnya sedang disiapkan oleh Tauke, baru beberapa tahun kemudian, aku menyadarinya. Tauke punya rencana besar. Usia Tauke lima puluh tahun, dia sedang menatap masa depan Keluarga Tong yang gemilang, dia telah menyiapkan rencana agar keluarga kami tidak hanya menjadi penguasa di provinsi. Rencana yang justeru tidak aku sukai saat itu.
Seminggu hanya dijejali buku-buku yang diberikan Frans, aku memutuskan menemuinya di ruang kerja bangunan utama. Bilang aku akan berhenti membaca buku-buku itu.
“Kau harus sekolah, Bujang.” Tauke menatapku marah, wajahnya tidak suka. 
Aku menggeleng.
“Kau harus sekolah, BUJANG!!” Tauke membentakku.
Niatku sudah kokoh. Aku tidak datang sejauh ini ke kota besar hanya untuk sekolah. Aku tidak membunuh babi raksasa itu hanya untuk kemudian disuruh belajar.
“Apa yang sebenarnya kau inginkan?” Tauke mengendurkan teriakannya, berusaha sedikit terkendali, merapikan kertas-kertas yang sedang dia periksa, melangkah mendekatiku.
“Aku ingin menjadi seperti Bapakku dulu.”
“Menjadi Bapak kau? Lantas apa yang berhasil Syahdan dapatkan dari menjadi seorang tukang pukul? Kakinya lumpuh satu. Kau ingin menjadi lumpuh seperti dia, hah?”
Aku diam. 
“Masa depan Keluarga Tong bukan di tangan orang-orang yang pandai berkelahi. Masa depan Keluarga ini ada di tangan orang yang pintar. Kita tidak akan terus-menerus hanya menjadi keroco dalam dunia hitam. Hanya memalak, memeras, menyelundupkan barang-barang. Itu bisnis kotor. Kita akan menjadi lebih besar dari itu semua, dan untuk menjalankannya, aku butuh orang pintar. Itulah yang disebut visi, melihat masa depan. Kau harus sekolah setinggi mungkin. Biarkan saja Basyir, yang memang tidak punya otak untuk mengunyah bangku sekolah, yang menjadi tukang pukul. Kau tidak.”
Aku tetap menggeleng.
“Astaga, Bujang! Omong kosong menjadi seperti bapak kau. Lihatlah. Aku bertahun-tahun ingin menjadi seperti Ayahku dulu, Tauke Besar sebelumnya. Lantas apa yang aku dapat setelah menjadi dirinya? Di kota ini saja keluarga lain tidak menghormatiku, kita hanya dianggap keluarga rendah. Jangan tanya di pulau seberang, Ibukota, mereka hanya memicingkan mata tidak peduli. Kita dianggap sama dengan preman Pasar Induk yang kita taklukkan. Tidak berkelas. Murahan.”
Aku tetap diam.
“Kau harus sekolah, Bujang. Frans yang akan mengajarmu secara privat di rumah ini hingga kau bisa mengejar ketinggalan kelas. Kau tidak akan menyia-nyiakan bakat pintarmu. Kau seharusnya sudah kelas satu SMA, Bujang. Usiamu sudah lima belas tahun—”
“Aku tidak mau.” Aku memotong.
Tauke Besar mendengus, andai saja aku orang lain, mungkin sejak tadi dia sudah menyambar pemukul, memukulku tanpa ampun—dua hari lalu aku pernah melihat Tauke mengamuk saat anak buahnya tidak becus mengurus pekerjaan, dia memukulinya hingga berdarah. 
Tauke meremas jemarinya dengan geram, akhirnya menghembuskan nafas.
“Baiklah…. Baiklah, Bujang! Aku tahu, membaca buku itu tidak seru. Sementara setiap pagi kau hanya mendengarkan cerita hebat dari Basyir dan pemuda lain di meja panjang saat sarapan. Membuat kau hanya jadi bahan olok-olok. Baiklah, BUJANG! Aku tahu, memukuli orang lain itu lebih seru, lebih menantang. Malam ini, kau ikut denganku, akan kuberikan apa yang kau mau. Kau dengar, hah?”
Percakapan itu berakhir cepat. Aku pikir aku telah mendapatkan yang aku inginkan, Tauke mengalah, hingga malam tiba, ternyata sebaliknya.
***
Hari ini. 
Tiga puluh menit sejak telepon Basyir, sedan hitam yang kukendarai merapat di sebuah kawasan elit ibukota. Pintu gerbang yang terbuat dari baja setebal lima senti terbuka secara otomatis saat mengenali wajahku. Itu bukan gerbang yang harus didorong oleh dua orang seperti di kota provinsi dua puluh tahun dulu, ini adalah markas besar Keluarga Tong dengan teknologi mutakhir. Semua penghuni rumah dipindai dengan alat canggih, dan itu otomatis akan memberikannya otorisasi ke bagian mana saja dia bisa masuk.
Aku memarkirkan mobil di depan bangunan utama. Parkirannya bisa menampung empat puluh mobil. Luas markas besar Keluarga Tong hampir enam hektar, dikelilingi tembok setinggi empat meter yang depannya dikamuflase dengan rumah-rumah mewah. Jika seseorang melintas di jalan utama kawasan elit ibukota itu, tidak akan ada yang tahu jika di balik rumah-rumah itu, ada komplek bangunan rahasia, mereka hanya akan menduganya rumah-rumah biasa.
Ada beberapa anggota keluarga yang sedang berkumpul di depan bangunan utama, mereka menghentikan percakapan, mengangguk dalam-dalam kepadaku, memberikan hormat. Aku hanya membalas selintas, segera menuju pintu. Itu mungkin briefing para Letnan, sedang membahas situasi terakhir, atau hanya percakapan ringan. 
Keluarga Tong bertransformasi luar biasa dua puluh tahun terakhir. Dengan anggota ribuan orang, kami menggunakan jasa konsultan strategi manajemen kelas dunia untuk membentuk organisasi yang ramping, efisien dan efektif. Hirarki kekuasaan disusun dengan cermat, tugas dan tanggung-jawab ditentukan secara akurat. Itu akan memastikan, semua isu dan masalah lapangan selesai dengan cepat, termasuk siapa yang akan memperoleh penghargaan, siapa yang akan dihukum. Kami bahkan menggunakan aplikasi komputer paling mutakhir dalam mengelola seluruh anggota rumah. 
“Kau sudah ditunggu, Bujang.”
Basyir menyambutku di ruangan depan, ruangan luas, berlantai marmer dan lampu kristal seberat satu ton di langit-langitnya, diangkut langsung secara utuh dari Turki. 
Aku mengangguk, “Tauke ada di mana? Kamar utama?”
“Kamar belakang, orang tua itu ingin kamar dengan jendela besar.”
Basyir melangkah bersamaku menaiki anak tangga, aku berjalan di belakangnya. Tubuh Basyir tinggi besar, gagah seperti para penunggang kuda suku Bedouin yang dia kagumi. Bedanya, dia tidak mengenakan sorban atau jubah, dia mengenakan kemeja lengan panjang berwarna gelap, yang digulung hingga siku, celana kain hitam, serta sepatu tersemir. Basyir adalah “penunggang kuda” modern. Dia adalah pemimpin para Letnan. 
Ada enam belas Letnan di Keluarga Tong, yang membawahi ratusan anggota keluarga lainnya. Segala urusan yang menyangkut disiplin organisasi, itu ada di tangan Letnan dan Basyir. Jumlah mereka mayoritas, kami membutuhkan banyak tukang pukul. Basyir selalu membawa senjata—bukan pistol atau senjata api. Basyir tidak suka senjata modern, dia menggunakan senjata leluhurnya. Disembunyikan dengan rapi di dadanya, dibalut dengan sangkur terbaik yang melilit ke belakang, sebilah khanjar (belati) Arab. Panjangnya hanya satu jengkal, tapi di tangan Basyir itu sangat mematikan.
Aku melintasi lorong lantai dua. Tidak banyak bicara. Tiba di ujungnya, Basyir mendorong pintu kayu jati berukiran, dia masuk lebih dulu. Kamar tidur dengan ukuran enam kali enam meter segera menyambutku, terlihat sibuk, ada satu dokter dan dua perawat yang sedang memeriksa seseorang di atas ranjang. Juga berdiri dua orang lain di sana, ikut menemani.
“Akhirnya kau tiba, Bujang!” Orang di atas ranjang berseru, menatapku masam. Tangannya terangkat. Beberapa peralatan medis terlihat menempel di dada, punggungnya. 
“Aku harus menemui calon presiden—” 
“Kau hendak bilang, calon presiden itu lebih penting dibanding aku, hah?”
“Tidak. Bukan itu—?” Aku mendekati ranjang.
“Apanya yang tidak? Bukankah kau sudah kuminta datang ke sini sejak pagi.” Orang dengan tubuh gempal, mata sipit, semakin berseru marah. Rambutnya yang memutih bergerak-gerak. Usianya sudah tujuh puluh tahun, tangannya teracung galak. 
Dua perawat yang sedang bekerja melangkah mundur karena kaget. 
“Tidak ada yang bilang begitu, Tauke.” Aku berkata dengan suara lebih lembut, duduk di kursi samping ranjang, “Menemui calon presiden itu adalah pekerjaan yang Tauke berikan kepadaku, dan semua pekerjaan harus tuntas di keluarga ini, tidak terlambat walau sedetik. Tauke sendiri yang mendidik kami atau resikonya adalah hukuman.” 
Dokter segera berbisik, meminta orang berambut putih di atas ranjang agar tenang. Perawat masih takut-takut memasangkan peralatan.
Aku tersenyum, “Biar aku yang memasangnya. Hallo, Dok. Apakah ini pemeriksaan rutin?”
“Selamat sore, Bujang. Kau benar, ini hanya pemeriksaan rutin.” Dokter mengangguk kepadaku, tersenyum. Itu adalah dokter yang dulu membalut lukaku ketika pertama kali tiba di Keluarga Tong. Usianya sama tuanya dengan Tauke Besar.
Aku mulai memasang peralatan medis, gerakan yang terlatih—aku pernah mengambil kursus singkat emergency room selama empat bulan saat sekolah di Amerika. 
“Tauke terlihat segar hari ini.” Aku kembali menatap orang tua di atas ranjang setelah memastikan semua peralatan terpasang baik, memegang lengannya. Tersenyum, “Aku sungguh minta maaf baru datang setelah Basyir menelepon. Tadi pagi memang sudah ada pesan yang disampaikan, aku pikir itu bisa digantikan oleh orang lain karena sore ini aku harus pergi ke Hong Kong. Itu juga tugas yang tidak kalah prioritasnya yang Tauke berikan. Semua katamu adalah perintah bagiku.”
Wajah masam Tauke terlihat mengendur, dia kembali tenang. Sejak mulai sakit-sakitan lima tahun terakhir, Tauke mudah sekali marah. Dia bisa mengamuk tanpa sebab di atas ranjangnya, membuat semua orang repot. Hanya dokter senior yang bisa mengendalikannya. Aku harus lebih bersabar menghadapi Tauke, dia sudah seperti Ayahku, satu-satunya keluargaku yang masih hidup.
Dokter memeriksa Tauke lima belas menit kemudian, dua perawat sudah berani mendekat, ikut membantu. Aku berdiri mundur beberapa langkah agar tidak menganggu kesibukan.
“Apa kabar, Bujang?” Salah-satu dari dua orang yang telah berada di kamar Tauke sebelum aku tiba menepuk bahuku.
“Baik.” Aku mengangguk.
Nama orang yang menyapaku adalah Parwez. Posisinya menggantikan Mansur yang telah meninggal. Usianya baru dua puluh sembilan, tapi posisinya sangat penting dalam keluarga. Kepala semua urusan keuangan, logistik, humas, dan pimpinan seluruh perusahaan di bawah kendali keluarga. 
Jika diibaratkan perusahaan multinasional, maka Parwez adalah CEO alias direktur utama atas group perusahaan dengan kapitalisasi ratusan milyar dollar. Dia keturunan India, yatim-piatu, diambil Tauke sejak usianya empat belas tahun di salah-satu panti asuhan, saat itu Parwez barusaja memenangkan kompetisi catur, mengalahkan grand master. Bakatnya dalam bidang keuangan, sama jeniusnya dengan bermain catur. Tauke membawanya ke rumah Keluarga Tong, menyekolahkannya, mendidiknya menjadi bagian puzzle penting berikutnya. Parwez sangat setia kepada Tauke, dia rajin, cermat, serta pandai menggerakkan bisnis legal milik perusahaan. Kepribadian Parwez juga sangat disukai Tauke, karena dia benci berkelahi. Aku tidak pernah sekalipun melihat Parwez memukul orang lain. Parwez dan staf-stafnya tidak berkantor di rumah, dia mengendalikan bisnis dari gedung berlantai tiga puluh di jalan protokol ibukota. 
Satu orang lagi yang berdiri di sebelah Parwez adalah pemilik dan direktur sebuah maskapai penerbangan besar. Dia sering muncul di televisi, koran, dan sebagainya. Tapi sejatinya dia hanya pion, bidak-bidak, karena pemilik perusahaan sebenarnya adalah Keluarga Tong. Mungkin sore ini dia diajak Parwez membicarakan sesuatu dengan Tauke, masalah perusahaan—mungkin tentang delay tiga hari yang ramai di media. 
Lima belas menit aku menunggu Tauke diperiksa. Kemudian peralatan kembali dibereskan oleh dua perawat. Dokter senior bicara sebentar dengan Tauke. Saran-saran agar lebih banyak beristirahat, disiplin menghabiskan obat.
“Tidak ada yang perlu dicemaskan, Bujang. Kondisinya stabil.” Dokter bicara kepadaku sebelum meninggalkan kamar, disusul dua perawat, “Tapi jangan biarkan dia bekerja banyak, juga jangan buat suasana hatinya buruk. Marah-marah itu mengganggu fisiknya.”
Aku mengangguk, mengucapak terima kasih.
“Kalian juga silahkan keluar.” Tauke sudah duduk bersandarkan bantal, menatap yang lain, “Aku hendak bicara empat mata dengan Bujang.”
Basyir tanpa banyak komentar langsung balik kanan. Disusul Parwez dan pion bisnisnya, salah-satu dari mereka menutup pintu dari luar. Meninggalkan kami berdua.
Aku berdiri menatap Tauke Besar. Menunggu.
Tauke Besar hanya diam lima menit, mendongak, memejamkan matanya. Suara pendingin ruangan terdengar pelan. Sudah menjadi peraturan tidak tertulis di rumah itu, jika Tauke masih diam, maka kami semua harus menunggu, hingga kapanpun dia berkenan bicara. 
“Waktuku sudah tiba, Bujang.” Akhirnya Tauke bicara, membuka matanya.
Aku menelan ludah mendengar kalimat pembukanya. Aku segera tahu apa yang hendak dia bicarakan. Itulah kenapa aku berusaha menundanya tadi pagi. Pun berusaha sesegera mungkin ke Hong Kong, menghindarinya sore ini. 
“Aku akan mati.” Tauke menatapku, berkata tanpa basa-basi.
Aku menghembuskan nafas.
“Aku tahu kau tidak suka membicarakan ini. Tapi kau satu-satunya…. Anak angkatku….” Tauke Besar diam sebentar, “Kalau Syahdan masih bisa melihat anaknya, lihatlah. Anaknya tumbuh begitu mengagumkan. Saat dia bicara, bahkan seorang presiden pun gemetar mendengarnya. Kau telah matang, siap untuk menjadi…. Dengarkan aku dulu, jangan dipotong, Bujang.”
Mulutku yang terbuka menutup.
“Cepat atau lambat, Bujang, keluarga ini butuh pemimpin baru. Dan kaulah orangnya. Kaki tangan pertamaku. Bersama Parwez, Basyir, dan yang lain, keluarga ini akan semakin besar—”
“Kita tidak harus membicarakannya sekarang, Tauke.” Aku akhirnya memotong.
“Diam, Bujang!” Tauke Besar melotot.
“Kau selalu saja menghindar membicarakan ini. Untuk seseorang yang membunuh banyak orang, menghabisi dengan mudah lawan-lawannya, kau seharusnya santai saja membicarakan tentang kematianku. Aku akan mati. Sama seperti Syahdan dan Mamak kau di lereng hutan sana. Di kubur dalam tanah, di makan cacing. Kuburkan segera tanpa harus menunggu siapapun, agar semua bisa dilupakan dengan cepat…. Dan kenapa aku memaksamu bicara sore ini, karena berhentilah mencemaskan kematianku. Ada yang lebih serius yang harus kau cemaskan. Pertempuran besar.”
“Setiap kali pemimpin keluarga tiba di ujung kekuasaannya, maka keluarga-keluarga lain akan bersiap menikam dari belakang. Sama seperti yang aku lakukan belasan tahun lalu, mengambil alih kekuasaan. Ratusan orang mati, pertempuran sengit meletus di banyak tempat, berbulan-bulan. Kau seharusnya tahu persis itu akan terjadi lagi, dan sasarannya kali ini adalah keluarga kita.”
Aku menggeleng, tidak sepakat, “Jaman sudah berubah, Tauke. Aku sudah mengurus keluarga lain. Kita sudah mengunci banyak hal. Mereka tidak akan berani mengambil-alih kekuasaan Keluarga Tong. Kekuatan mereka tidak sebanding dengan kita.”
Tauke balas menggeleng, “Aku tidak cemas menghadapi keluarga lain, Bujang. Aku cemas dengan keluarga sendiri. Jaman tidak pernah berubah. Di dunia hitam, cara-cara selalu sama. Dulu, aku memilih berkelahi secara jantan untuk mengambil kekuasaan, tapi masih ada cara-cara lama yang lebih abadi. Pengkhianatan orang dalam misalnya. Pengecut, tapi itu lebih mematikan.”
“Basyir tadi malam melaporkan kemungkinan itu. Mereka diam-diam telah meletakkan orang-orang mereka di keluarga kita. Di perusahaan, di pelabuhan, di rumah ini, di mana-mana. Satu diantaranya adalah Letnan, sudah dieksekusi tadi pagi, dia jelas adalah anggota keluarga lain, diselundupkan untuk memata-matai kesehatanku. Basyir akan mengurus keluarga itu, dibumi-hanguskan nanti malam, balasan yang setimpal. Tapi kita tidak tahu masih berapa lagi pengkhianat di rumah ini. Itulah kenapa aku mendesak memintamu bertemu sebentar.”
“Bujang, waktuku hampir habis. Jika aku tidak mati dalam pertempuran memperebutkan kekuasaan, ranjang ini akan membunuhku lebih dulu. Aku akan segera mengumumkan kau adalah calon kepala keluarga baru, setelah kau kembali dari Hong Kong. Itu akan membuat posisi kita kuat, kau akan menjadi Tauke Muda…. Jangan, jangan potong dulu kalimatku, Bujang. Aku tahu kau tidak menginginkannya, kau lebih suka menjadi tukang pukul di keluarga ini daripada mengurusi kertas-kertas, surat-surat. Kau lebih suka membentuk reputasi mengerikan milikmu daripada duduk di belakang meja. Lebih suka menjadi spesialis, penyelesai konflik tingkat tinggi, bertangan dingin, seperti agen khusus paling misterius, membuat bergidik semua orang. Tapi aku tidak punya calon lain, Bujang.”
“Basyir? Dia hanya senang berkelahi. Bahkan untuk meminjam sendal pun dia harus meninju. Otaknya tidak berisi. Parwez? Anak itu memang jenius seperti kau, bahkan dalam bidang rekayasa keuangan, dia tidak tertandingi, cocok sekali menjalankan organisasi di masa depan, saat seluruh bisnis kita menjadi terang, tidak lagi remang. Tapi Parwez sebaliknya dari Basyir, hatinya terlalu lembut, bahkan memukul nyamuk pun tidak tega. Aku suka dengan karakternya, kesetiaannya. Tidak, dia tidak cocok. Keluarga ini membutuhkan pemimpin yang kuat. Hanya kau satu-satunya…. Anak angkatku….”
Tauke Besar diam sebentar, terbatuk.
“Batuk sialan ini tidak pernah berhenti….” Tauke Besar memaki, menyeka mulutnya.
“Aku tidak punya keturunan, Bujang. Anak dan istriku mati terbakar saat perebutan kekuasaan di kota provinsi. Juga adik dan kakak-kakakku. Hanya aku dan Ayahku yang selamat, keluarga kami habis jika Bapak kau tidak menyelamatkan Tauker Besar …. Hari ini, aku akan bangga sekali melihat kau menjadi kepala keluarga kita. Ayahku, Tauke Besar dulu, pasti juga akan senang, keluarga ini diteruskan kepada anak Syahdan, putra dari seorang tukang pukul yang sangat dia sukai. Pertimbangkanlah, Bujang. Pikirkanlah sepanjang perjalanan kau ke Hong Kong. Jangan langsung kau tolak.”
Aku diam. Menatap wajah tua Tauke, yang menunggu jawabanku.
Aku ingin menunda percakapan ini. Dalam hidupku, kematian orang terdekat selalu membuatku menjadi lebih lemah. Tapi teringat pesan dokter tadi, demi membuat Tauke senang, aku memutuskan mengalah, akan kupertimbangkan. Aku mengangguk.
“Bagus.” Tauke terkekeh, “Nah, selamat jalan, Bujang. Salam dariku untuk Master Dragon, dia akan bijak memutuskan masalah kita di sana.”
***

*bersambung

0 komentar:

Posting Komentar